Minggu, 31 Oktober 2010

‘NYAMBI’ KERJA DI AUSTRALIA


Siswoko bersama Menlu Australlia Alexander Downer

Bekerja mencari uang tambahan di Australia merupakan sesuatu hal yang menarik untuk dilakukan ditengah-tengah kesibukan belajar. Apalagi mengingat kuliah yang tidak begitu padat, cuma satu atau dua mata kuliah sehari dengan sistem belajar yang tidak terlalu merepotkan karena ada internet dan perpustakaan yang sangat mendukung proses ini. Maka alternatif bekerja sambil kuliah aldalah hal menarik untuk dilakukan ditengah-tengah belajar.

Tulisan ini merupakan pengalaman penulis belajar dan bekerja di Australia beberapa waktu yang lalu. Sambil belajar sekaligus bekerja, ibarat menyelam dapat ‘dolar’ yang digunakan untuk jalan-jalan keliling Australia, ketika liburan tiba. Ibaratnya, kalau orang kebanyakan berperinsip ”jangan gara-gara main-main, gak bisa belajar” maka perinsip itu kami balik, “jangan belajar terus, nanti tidak bisa jalan-jalan”. Keduanya harus saling berjalan berdampingan, karena bekerja di negara orang adalah suatu proses pembelajaran yang langka dan tidak semua orang bisa melaksanakan keduanya sekaligus. Meskipun untuk mengatur waktu antara belajar dan bekerja merupakan suatu seni tersendiri dan tidaklah mudah.

Pengalaman menarik dari awal sampai akhir pendidikan kami bekerja merupakan sesuatu yang tak terlupakan. Berbagai hal positif maupun negatif merupakan sebuah proses pengalaman dan pelajaran berharga baru yang kami peroleh selama melaksanakan tugas belajar di sini. Harapan kami, semoga sedikit pegalaman ini dapat menambah wawasan dan pengalaman teman-teman lain yang mempunyai kesempatan yang sama dalam melaksanakan tugas belajar sambil bekerja.

‘Steward Barlen Hire’ (SBH) adalah sebuah perusahaan penyewaan peralatan pesta terbesar di Canberra seperti macam-macam; tenda, kursi, gelas, piring dan alat-alat barbeque yag disewakan secara umum. Selain di Canberra, SBH juga mempunyai cabang di Bowral, Albury dan beberapa kota besar di Australia. Tak heran, perusahaan ini merupakan ’warehouse’ terbesar di Canberra ibukota Australia.

Bekerja ‘part time’ merupakan cara terbaik untuk berburu dollar khususnya bagi ’international student’ seperti kami. Sebagai perbandingan di Indonesia dengan bekerja selama satu jam saja untuk hari biasa (Senin s/d Jum’at) bayaran yang kami terima sebesar 14,30 dolar Australia. Sementara kalau ‘over time’ atau istilah kita ‘lembur’ hari Sabtu dan Minggu bayarannya lebih besar hampir 20 dolar Australia per jam. Bayangkan ? Di mana kita dapat pekerjaan kasar di bayar sedemikian besar, apalagi status kami hanya sebagai mahasiswa penerima beasiswa yang dikenal dengan istilah ’low income’ bagi masyarakat Australia lainnya.

Kesempatan liburan semester yang hampir mencapai dua bulan kami manfaatkan betul untuk ‘berburu dolar’ dengan memulai kerja dari pukul 8.30 am sampai dengan pukul 05.00 pm setiap hari biasa. Sedangkan hari Sabtu dari jam 08.30 am – 05.00 pm dan hari Minggu barulah digunakan untuk waktu keluarga dengan bersenang-senang bersama seperti; travelling, berenang, sauna, spa dan makan ditempat-tempat terkenal di Canberra.

Perinsipnya, kalau keperluan sekolah selama di sini termasuk; buku, foto kopi, dan sebagainya sudah ada ‘beasiswa’ yang ditanggung oleh pemerintah Australia. Maka uang ‘hasil keringat’ dari bekerja di sini, kami manfaatkan untuk bersenang-senang dengan mengunjungi; Brisbane, Gold Coast, Melbourne , Sydney dan lainnya.

Bukannya maksud untuk menghambur-hamburkan uang dengan bersenang-senang. Namun perinsip kami sederhana saja “kalau uang bisa di cari, namun pangalaman lain traveling kapan lagi ?”. Selain itu pertimbangan kami adalah di Indonesia kami masih ’saving money’ dimana gaji bulanan kami sebagai anggota TNI tetap ditabung selama lebih kurang dua tahun kami berada di Australia.

Pengaturan pemberlakuan ‘pajak’ bagi kami yang hanya pegawai rendah termasuk lumayan ‘fair’. Sebagai contoh, walaupun uang gaji ’golongan atas’ yang didapat besar, namun sistem yang digunakan pemerintah Australia sangat menakjubkan. Orang-orang yang berpenghasilan besar dan kelas ‘atas’ pajaknya juga besar, sehingga dia akan dibawa ke tengah. Sebaliknya yang jam kerjanya kecil dan penghasilannya ‘kecil’ ditingkat bawah, pajaknya juga kecil. Sehingga hampir dapat dikatakan orang yang mendapat penghasilan besar atau kecil tidak menjadikan masalah yang berarti, karena system pajak mereka membuat semua orang hidup layak.

Di samping itu, untuk menambah pergaulan dengan teman-teman Australia dengan ‘multi-cultural’ yang dianut kebijaksanaan politiknya. Teman-terman dari negara lain seperti; si Adam Polandia, Oscar dari Chillie dan beberapa teman dari negara yang berbeda menambah ‘kekayaan’ perbendaharaan budaya selama kami bekerja dan bergaul dengan mereka. Interaksi setiap harinya membuat kami lebih terbuka menerima perbedaan budaya negara lain.

Perbedaan budaya antar karyawan merupakan pengalaman berharga lain bagi kami. Seperti ketika salah seorang teman kerja kami Tammy (25 tahun) walaupn sudah mempunyai anak dua dengan bapak yang tidak jelas, tetapi masih mempunyai ‘boy friend’ lain dan memilih tidak kawin. Alasannya kalau dia kawin, nanti dia dan pacarnya tidak dapat tunjangan sosial dari pemerintah Australia. Di sini orang yang tidak bekerja disantuni oleh pemerintahnya. Sementara gaji atau tunjangan untuk ‘single parents’ atau orang yang punya anak, tapi tidak kawin berbeda, karena anak-anak lahir disantuni lebih besar oleh negara. Bayangkan kalau hal ini terjadi di Indonesia, pasti menjadikan perdebatan yang rumit dan cukup serius.

Perbedaan lain adalah tata cara dan etika bahasa, jika dibandingkan dengan lingkungan kampus. Di tempat kerja semuanya serba non formal dan bahkan cenderung menggunakan bahasa ’gaul’. Sebagai contoh di kampus, dosen dan teman-teman selalu menggunakan ‘bahasa Inggris’ formal dan sopan dalam berargumentasi, diskusi dan percakapan sehari-hari. Namun di tempat bekerja kami sering dan biasa dengan kata-kata seperti; ‘what a fuck job it is ?’ atau terkadang ’what a bloody idiot you are’ dan kata-kata lain yang kami anggap pertama sekali tidak pantas dan menyakitkan, tapi lama kelamaan jadi terbiasa. Pengalaman lain selama bekerja adalah kami menjadi mengerti bahasa gaul mereka, selain bahasa formal yang kami gunakan di kampus sehari-hari.

Hubungan antara bos dan karyawan hampir tidak kelihatan disini. Contohnya, pertama bekerja kami dikenalkan dengan seseorang yang namanya Brian. Dia selalu ikut dalam kerja-kerja keras yang kami lakukkan seperti; mencuci tenda, menggunakan fork lift untuk memindahkan barang-barang berat dari suatu tempat ke tempat lain. Terkadang bercanda di tengah-tengah ‘morning tea’ atau ‘lunch time’ saat istirahat. Orangnya murah senyum, baik dan bersahaja sebagai orang Australia. Saat itu kami kira dia juga karyawan biasa yang ditempatkan satu bagian dengan kami di sini. Ternyata setelah beberapa lama kami di sini, baru kami tahu bahwa si Bryan itu adalah salah seorang top manager di SBH.

Kemudian kami dikejutkan lagi dengan pengalaman lain ketika hari Sabtu, di mana sebahagian besar orang Australia libur bekerja. Ada seorang tua yang memperkenalkan diri dengan nama Berry dan ikut bekerja ‘over time’ bersama kami. Akhirnya kami tahu bahwa orang tersebut adalah pemilik perusahaan, yang sengaja datang dihari libur untuk bergabung dengan karyawan-karyawan lain. Sama sekali berbeda dengan tipikal bos di Indonesia yang identik dengan jas dan pakaian rapi, yang jarang bergabung dengan karyawannya di tingkat bawah.

Hal lain yang kami anggap pengalaman berharga adalah saat-saat perusahaan mengadakan acara BBQ untuk karyawannnya. Para bos tidak akan memulai makan duluan dengan segala hidangan yang lezat dan menarik, tetapi malah belakangan setelah semua hidangan ‘hampir’ habis disikat anak buahnya. Ini juga merupakan pengalaman menarik yang tidak akan mungkin kita temui di Indonesia dimana ‘bos is served first’ .

Bekerja di Australia merupakan pengalaman yang menarik dan berharga bagi kami. Berbagai teman, pergaulan, budaya dan uang dapat diperoleh dengan sistem pekerjaan yang professional. Selain itu proses belajar mengajar menurut kami tidak didapatkan di kampus saja, tetapi bisa kita dapatkan selama bekerja. Karena bekerja pada hakekatnya merupakan ‘proses belajar’ juga, di mana kita dapat menimba sisi lain dalam mengisi warna hidup kita sebagai mahasiswa.

Perlu diingat bagaimanapun juga tugas utama seorang mahasiswa adalah belajar, karena kami berada di sini juga dalam rangka tugas belajar. Pelajaran tetap nomor satu dan harus tetap diprioritaskan. Namun kembali lagi kalau semua pelajaran sudah dapat dilaksanakan dengan baik, bekerja adalah proses belajar lain yang saling menguntungkan dan boleh dicoba.

Ditulis untuk berbagi pengalaman, oleh Drs. Siswoko, MDS
Alumni FISIP USU Angkatan 1985

MARI MENULIS & KOMENTAR DI BLOG INI

Mari menulis atau berbagi cerita di blog kita ini, caranya mudah kok. Cukup kalian kirim email ke : andymesera.gedungputihusu@blogger.com, untuk subjectnya kalian cantumkan judul/berita yang kalian mau bagikan. Atau kalau kalian juga mau mengirimkan photo, jadikan saja sebagai lampiran (attachment) di email, & begitu kalian mengirimkan email tersebut (send), secara otomatis tulisan berikut photo kalian akan muncul di blog ini. Untuk memberikan komentar di tulisan yang ada, pilih (saja) profile "Anonymous", jangan lupa cantumkan nama si pemberi komentar.

Catatan : Ini contoh hasil tulisan dengan mengikuti petunjuk di atas, Trims

SUCCESS STORY'85 DI DIES NATALIS KE-30


‘Success Story’ adalah salah satu bentuk acara yang digagas oleh Panitia Dies Natalis FISIP USU ke-30 pada Tanggal 26 Oktober 2010 yang baru lalu di Aula Kampus tercinta. Kriteria ‘sukses’ bukanlah masalah materi, tetapi lebih pada integritas pribadi para pembicara untuk yang memiliki prinsip hidup dan selalu konsisten dengan hidupnya tersebut, sehingga dapat menjadi contoh tauladan di masyarakat luas. Selain itu diharapkan ‘individual skill’ mereka setidaknya dapat menginspirasi alumni FISIP USU lainnya untuk memajukan nama baik almamater tercinta.

Setelah melakukan rapat yang cukup melelahkan, panitia Dies Natalis akhirnya memilih empat nama yang dianggap ‘representative’ dalam menebarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada civitas akademika FISIP USU sebagai pembicara pada acara bergengsi ini. Kempat pembicara tamu tersebut adalah; Prof .DR. Subilhar, MA, Drs. Henry Saragih, Drs. Arif Liasta Ginting dan Drs. Siswoko, MDS.

Prof. Subilhar mewakili bidang akademis mengatakan, bahwa kalau susah itu hal biasa, tetapi marilah kita berusaha agar tidak susah dalam hidup dan kehidupan. Karenanya belajar dan belajar lagi merupakan alternative yang tidak boleh ditawar-tawar dalam meningkatkan mutu kehidupan pribadi maupun almamater. Sejarah pendidikan dari S-1, S-2, S-3 dan gelar professor yang disandangnya merupakan sebuah catatan panjang dengan segala perjuanagan dipaparkan dengan santai dan mendalam. Beberapa perinsip dasar kehidupannya menginspirasi beberapa mahasiswa yang hadir untuk berfikir dan bertanya tentang filosofi hidupnya.

Sementara itu Drs. Henry Saragih yang mewakili NGO (Non Government Organitation), menceritakan kegigihan dan konsekuensinya untuk memajukan petani Indonesia. Sebagai anak petani dan liku-liku kehidupan membawanya keliling dunia bertemu dengan para pejabat dan presiden beberapa negara. Jabatan yang disandangnya kini adalah; Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) selain sebagai anggota pada ‘La Via Campesina, International Peasant Movement’ atau ‘Gerakan Petani Internasional’.

Drs.Arif Liasta Ginting, sebagai perwakilan FISIP 85 menguraikan betapa dia berani mengambil keputusan, setelah bekerja mapan sebagai fotographer terkenal di Femina Group Jakarta. Hengkang kembali ke Medan untuk membuat suatu ‘lapangan pekerjaan’ baru dan sekaligus membagi ilmunya kepada civitas akademika Fisip USU pada mata kuliah ‘fotography’. Padahal selaku fotographer papan atas di Jakarta langganannya seperti; para selebrities, pejabat dan orang terkenal lainnya tak luput dari hasil ‘jepretan’ kameranya. Arif, dengan motttonya, “tahun ini satu studio foto dibangun, tahun depan harus tujuh studio selesai” merupakan tokoh yang energik dan memiliki semangat yang tak kunjung pudar meskipun mengalami beberapa tekanan dan hambatan dalam hidupnya.

Kesan yang paling mendalam menurutnya adalah ketika disuruh memilih antara profesionalisme pada satu sisi dengan hubungan keluarga disisi lain. Ketika adiknya sakit dirumah sakit, dia harus memilih melakukan tugas foto kepada ‘client’ atau menunggu adiknya yang terbaring lemah dirumah sakit. Dia tetap ‘kekeuh’ untuk bertindak professional memotret dalam keadaan adik tersayangnya sakit dirumah sakit, meskipun dengan berlinangan air mata.

Pembicara lainnya adalah Drs. Siswoko, MDS. Alumni FISIP 85 ini juga bercerita mengenai sepak terjang angkatan 85 yang ketika pertama ikut perkuliahan selalu memegang motto “kalau orang lain tidur, kita harus sudah bangun…kalau orang bangun, kita harus sudah jalan…kalau orang tersebut jalan, kita harus lari…dan kalau dia lari, kita harus terbang…!” Menunjukkan semangat yang luar biasa dalam memegang perinsip hidupnya. Dalam perjalanan kariernya, motto tersebut tetap konsisten dipegangnya erat. Dia selalu menginspirasi rekan-rekan FISIP 85 untuk ‘maju’ secara bersama-sama. Mulai dari; komika, majalah kampus Humanika, seminar, pameran buku, English club dan beberapa kegiatan angkatan 85 yang ketika itu dianggap ‘ekstrim’ dan tidak umum selalu dimotori bersama teman-temannya.

Meskipun bergerak dan sudah bekerja di Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan dalam posisi aman. Namun karena perinsip itu pula, alumni ’Univeristy of New South Wales Australia’ ini hengkang dan bergabung pada perusahaan Total E&P Indonesie yang bergerak di bidang oil and gas yang bermarkas di Paris sampai sekarang. Kinipun, angkatan 85 masih tetap kompak dan solid, terbukti bulan Mei 2011 nanti Reuni Alumni Angkatan 85 bertajuk PULKAM III “Pulang Kampung Ke-3” kembali diadakan di Bali diorganisir oleh Quarta Sirait dan Andy Mesera setelah sebelumnya dilakukan di Berastagi dan Parapat.

Setelah para pembicara melakukan orasinya, dilanjutkan dengan beberapa sessi tanya jawab oleh sekitar 300-an peserta yang kebanyakan civitas akademika FISIP USU. Acara dibuka dan ditutup oleh Dekan FISIP USU dan dilanjutkan dengan pemberian plakat dan cinderamata sebagai kenangan.
Bravo FISIP USU, semoga dapat mewarnai peta politik Indonesia kedepan. ..!!!